24 July 2008

SYAHADATAIN


Kembali ke Menu Kliping Artikel Islami

Memahami Syahadatain

Sejak kecil, setiap muslim mengetahui bahwa syahadatain merupakan fundamen dari seluruh ajaran Islam. Anak-anak sekolah di Madrasah, SD, bahkan TK telah menghafalkan Rukun Islam yang rukun pertamanya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Setiap hari kita pun mengucapkan syahadatain ini, sekurang-kurangnya di dalam sholat lima waktu: "Aku bersaksi bahwa tiada yang wajib disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah."

Bangunan Islam berdiri di atas landasan yang teguh, kokoh dan kuat. Ia berbentuk keyakinan yang total -dan menyeluruh tentang keesaan Allah (Tauhid) dan kerasulan Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam (Risalah). Sejauhmana keyakinan seseorang terhadap dua hal ini, sekuat itu pulalah fundamen dari bangunan Islam dalam dirinya. Sebaliknya, pengingkaran terhadap dua kalimat ini merupakan kekufuran karena sama artinya dengan mengingkari keseluruhan agama Allah.

Namun, banyak ummat Islam yang belum menyadari urgensi dari kalimat yang mulia ini. Sehingga seringkali secara tidak sadar mereka melakukan pelanggaran Tauhid dan bersikap yang bertentangan dengan ma'na atau kandungan dua kalimat syahadat. Mereka mengucapkan kalimat ini semata dengan keyakinan, tetapi tidak memahami artinya atau belum mengerti kandungannya.

KEYAKINAN YANG DIDASARI PEMAHAMAN

Dalam membangun penghayatan terhadap seluruh ajaran Islam, pemahaman terhadap dua kalimat ini merupakan syarat mutlak. Apakah yang membedakan seorang muslim dengan seorang kristen? Apakah ucapan semata yang keluar dari mulutnya?Ucapan yang tidak berdasarkan keyakinan dan pemahaman, sudah tentu tidak akan memberi pengaruh atau kesan apa-apa dalam diri seseorang. Jika hanya mengulang-ulang satu dua kata atau serenceng kalimat, burung beo pun bisa melakukannya. Ucapan tanpa keyakinan bukanlah ucapan yang sah, sebagaimana kepercayaan tanpa pemahaman, bukanlah kepercayaan yang benar. Keyakinan merupakan kepercayaan yang utuh dan mendalam terhadap pengertian kandungan, konsekuensi logis dan akibat dari suatu pengucapan. Hanya dengan keyakinan yang benar seseorang akan mampu menghayati dan mengamalkan konsekuensi dari keyakinannya itu.

Muslim adalah seseorang yang meyakini kebenaran ucapan syahadatnya. Muslim bukan semata keyakinan dan juga bukan semata pemikiran, tetapi muslim adalah paduan antara keduanya. Antara pemikiran dan keyakinan jauh berbeda, walaupun pada lahirnya kelihatan serupa. Pikiran yang tidak bersumber dari keyakinan, hanya menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan aqidah (keyakinan) terhujam dalam hati dan meresap ke dalam jiwa dan semangat. Satu pendapat yang pada hakikatnya salah, bisa dianggap benar. Tetapi kepercayaan (keyakinan) itu merupakan kebenaran yang tetap, tiada keraguan.

Namun demikian, Islam memandang keyakinan yang kuat harus dibangun atas dasar pengertian yang mendalam. Kepercayaan yang tidak didasari kefahaman adalah kepercayaan yang rapuh, mudah rontok. Karena itu, Allah Yang Maha Bijaksana menginstruksikan kita agar mengilmui, dalam arti mempelajari dan memahami Laa ilaha illa-Llah: "Maka ketahuilah bahwa tiada ilah yang wajib disembah selain Allah. Dan mohonlah ampunan bagi dosa orang-orang yang beriman laki-laki maupun perempuan. Dan Allah tahu tempat kamu berusaha dan tempat tinggal kamu." (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini Allah menyeru kita untuk mengisi kepercayaan kita terhadap kalimat Laa ilaha illa-Llah, dengan pengetahuan dan pemahaman yang benar.Berapa banyak orang yang melanggar dan berdosa karena pemahamannya yang keliru terhadap Laa ilaha illa-Llah. Di sini Allah menyuruh Rasul-Nya agar memohonkan ampunan bagi mereka yang berdosa karena melanggar kandungan kalimat ini.

Para sahabat Rasulullah dahulu pun meyakini Laa ilaha illa-Llah dengan pemahaman yang benar. Oleh Allah, mereka disebut "ulul ilmi", karena tiada ilmu yang lebih utama dari pengertian yang shohih tentang syahadatain. "Allah menyatakan bahwa tiada ilah selain Dia, demikian pula para malaikat dan orang orang yang berilmu. Allah-lah yang menegakkan keadilan. Tiada ilah kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imraan : 18)

Persaksian (syahadat) orang yang berilmu disejajarkan dengan Allah dan malaikat-Nya, tentu jauh berbeda dengan orang yang awam dari pengertian syahadatain.... Di sini, Allah bukan menyamakan derajat, melainkan hanya memperlihatkan bahwa orang yang berilmu tentang syahadatain ini saja yang benar persaksiannya. Urgensi ilmu dalam menegakkan tauhid, tidak perlu diragukan lagi. Allah mencela sifat ikut-ikutan tanpa pengetahuan. Firman-Nya:

"Dan janganlah kamu ikut sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua akan dimintai pertanggung-jawabannya." (QS. Al Isra: 36)

Jadi, keyakinan terhadap keesaan Allah harus didasari ilmu. Orang tidak mungkin mengamalkan kalimat yang suci ini tanpa pemahaman. Sedangkan, setiap manusia akan dibalas Allah sesuai dengan pengetahuan dan amal perbuatannya.

MA'NA LAA ILAHA ILLA-LLAH

Kalimat Laa ilaha illa-Llah terdiri atas tiga huruf: alif, lam, dan ha. Namun, rangkaian kata-kata ini mengandung pengertian yang menjadi inti dari seluruh ajaran Islam.

Menurut ilmu Nahwu (gramatika Arab), kata Laa di sini merupakan bentuk nafi, yaitu kata pengingkaran atau penolakan terhadap kata yang mengikutinya. Dia harus diartikan dengan "tidak", atau "tidak ada". Kata ilaha merupakan yang ditolak oleh kata Laa itu.

Secara etimologis, ilah mengandung arti al-ma'bud (yang diabdi/disembah), yang dalam Bahasa Arab berarti:

1. Al mahbub, sesuatu yang dicintai dengan sepenuh hati,

2. Al marhub, sesuatu yang ditakuti,

3. Al marghub, sesuatu yang diharapkan pertolongannya,

4. Al matbu', sesuatu yang diikuti perintah-perintahnya dan dijauhi larangan-larangannya.

Jadi, ilah merupakan sesembahan yang dipuja atau diagungkan dengan penuh cinta, takut, dan harap. Menurut 'Ibn Taymiyah, seorang pembaharu yang dikenal konsisten, "Ilah adalah segala sesuatu yang digandrungi atau dicenderungi oleh hati manusia dengan penuh rasa cinta, takut, dan harap, sehingga orang yang cenderung tersebut mau mengabdikan diri kepadanya".

Kalimat Laa ilaha (tiada ilah) di sini dimaksudkan sebagai penolakan total terhadap segala jenis sesembahan yang ada di muka bumi. Kata illa disebut kalimatul-itsbat, yaitu peneguhan atau pengokohan bagi kata yang di belakangnya. Di sini, Allah adalah Al-Mutsbat atau yang diteguhkan dengan pernyataan "kecuali hanya Allah" tersebut.

Dengan demikian, Laa ilaha illa-Llah mengandung pengingkaran terhadap segala jenis ilah dan penerimaan total terhadap Allah 'Azza Wa Jalla sebagai satu-satunya ilah (sesembahan). Oleh karena itu, kalimat syahadat pertama Laa ilaha illa-Llah berma'na "Tiada yang wajib diabdi (disembah) kecuali hanya Allah".

Artinya segala bentuk pengabdian kepada selain Allah, baik berbentuk pengingkaran atau pengkufuran, baik merupakan keyakinan atau hanya sekedar ucapan lisan, adalah suatu pelanggaran terhadap Tauhid (syirik).

Banyak orang secara sadar atau tidak terjerumus ke dalam syirik ini. Sebagai contoh, orang yang mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri (egoisme), tak mau ikut aturan kecuali peraturan dirinya sendiri. Orang seperti ini tergolong sebagai orang yang memperilah (mempertuhankan) hawa nafsunya. Allah 'Azza Wa Jalla berirman:

"Apakah kamu tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai ilah (tuhan)? Apakah engkau dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS. Al Furqan : 43). Jika hawa nafsu pribadi seorang manusia saja dapat menjadi sesembahan, maka begitu pula hawa nafsu manusia lain pun terlebih lagi.

Fir'aun merupakan penguasa yang menjadikan dirinya sebagai ilah. Ia memaksakan kehendaknya pada masyarakat. Ia berkeinginan agar seluruh rakyatnya tunduk dan patuh pada kemauan dan kehendaknya. Sikap Fir'aun ini tergambar dalam firman Allah:

"Fir'aun berkata, 'Wahai para pembesarku, aku tidak mengetahui sesembahan yang lain bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman tanah liat untukku, kemudian buatlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat ilah Musa. Dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta,' " (QS. Al Qashash : 38)

Penguasa seperti Fir'aun selalu ada di setiap masa dan tempat. Karena itu, manusia banyak yang telah menjadikan para pemimpinnya sebagai ilah-ilah selain Allah. Penghambaan manusia kepada manusia lain merupakan problem terbesar sepanjang zaman. Agama yang dibawa para Rasul memang berupaya menghapus segala sesembahan (ilah), baik dari hawa nafsu seseorang maupun hawa nafsu sekelompok orang.

Ilah tidak hanya berupa hawa nafsu manusia. Benda-benda mati yang tidak memberi manfaat atau pun mudharat juga bisa dijadikan ilah oleh manusia-manusia yang sesat. Cukup banyak orang beranggapan bahwa benda tertentu memiliki kekuatan atau kesaktian sehingga mereka menyanjung dan memujanya pada waktu tertentu dengan khusyu'. Maksud mereka agar mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari ilah-ilah palsu tensebut. Tentang ini, Allah berfirman:

"Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tidak dapat menolong mereka, padahal mereka menjadi tentara yang dipersiapkan untuk menjaga berhala-berhala itu. " (QS. Yaa siin : 73-74)

MA'NA MUHAMMAD RASULULLAH

Bagian kedua dari dua kalimat syahadat adalah pernyataan Muhammad Rasulullah. Kalimat ini berma'na bahwa menerima cara pengabdian kepada Allah itu hanya dari Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam. Seorang yang bersyahadat wajib mengakui Muhammad sebagai aparat Ilahi untuk mengajarkan seluruh cara penghambaan diri kepada Allah. Mengakui syahadat pertama tetapi menolak kandungan syahadat yang kedua membuat syahadat seseorang tidak sah.

Allah telah mempersiapkan pribadi Muhammad sebagai uswah (teladan) abadi bagi penganut Aqidah Tauhid. Tidak itu saja, kehidupan beliau bersama sahabat-sahabatnya merupakan contoh sistem masyarakat Islam yang paripurna. Firman Allah:

"Sungguh telah ada bagi kamu dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu. Yaitu bagi mereka yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan banyak menyebut nama Allah. " (QS. Al Ahzab : 21)

Dengan pernyataan ayat ini, seorang muslim hanya dibenarkan menerima satu syariat saja dalam hidupnya (way of life), yaitu syariat Islam yang diajarkan oleh Muhammad. Syariat itu merupakan kelanjutan dari syariat para Rasul terdahulu. Dia bersifat universal dan berlaku sampai hari qiamat. Syariat itupun tidak ditujukan hanya untuk satu bangsa atau satu masa saja, melainkan untuk seluruh manusia dan berfungsi sebagai rahmat bagi semesta alam.

"Dan tiadalah Aku utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Saba:28)

"Dan tiadalah Aku utus engkau (Muhamad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al Anbiyaa:107)

Syariat Rasulullah berpangkal pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kitabullah merupakan pedoman hidup seluruh kaum muslimin. Sedangkan hadits-hadits merupakan penjelas bagi Al-Qur'an setelah Al-Qur'an itu sendiri. Syariat Islam datang untuk menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia. Rasulullah adalah "The living Qur'an" (Al Qur'an yang hidup), beliau merupakan contoh pribadi yang dikehendaki Allah dalam kehidupan yang nyata. Ketika Aisyah, istri Rasulullah, ditanya tentang akhlak Rasulullah, Siti Aisyah menjawab: "Akhlak Rasulullah adalah Al Qur'an. " (Hadits)

Syarat utama penerimaan syahadat adalah kesediaan untuk mengikuti pola hidup Muhammad Shollallhu 'Alaihi Wa Sallam dalam berbagai aspek: mengatur hubungannya dengan Rabb, menentukan halal dan haram, hukum pidana dan perdata, kemuliaan akhlak, hubungan sesama manusia, dan sebagainya. Keyakinan itu berdasarkan keterangan dari beliau sendiri:

"Tidak beriman salah seorang di antaramu sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku (Muhammad) datangkan (Al-Islam). " (HR. Muslim)

No comments: