10 July 2008

OPINI


Asww.
Kemengan Barack Obama atas Hillary Clinton untuk menjadi kandidat presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat menunjukkan bahwa rakya AS sekarang ini menginginkan perubahan politik di negeri adi kuasa ini. Bukan hanya perubahan dari segi pergantian rezim tapi lebih jauh dari itu: sebuah perubahan kebijakan.

Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan kebijakan dan manejemen politik presiden George W. Bush selama ini dianggap gagal menangani persoalan dalam negeri, terbukti semakin merosotnya kondisi perekonomian AS, angka pengangguran yang cenderung meningkat. Juga citra AS di mata internasional, terutama bagi negera berkembang, semakin memburuk akibat jejak Presiden Bush setelah intervensi politik di Timur Tengah; Aghanistan, Irak, Lebanon, dan Iran.

Rupanya kebijakan represif dan militerstik Presiden Bush dalam menangani prasangka kasus senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian tidak terbukti, membuat kerugian besar bagi AS sendiri baik secara finansial maupun jiwa. Ambisi Bush untuk menguasai Irak menjadi bumerang yang mencoreng mukanya sendiri. Rakyat AS jengah terhadap Bush.

Bagaimana tidak, AS dikenal sebagai kampiun demokrasi, sistem yang anti kekerasan serta mengedepankan dialogis. Tapi di tangan Bush AS berubah menjadi bangsa yang brutal. Tidak taat aturan. Menyepelekan teguran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Parahnya lagi, mengangkat senjata termasuk saat melakukan investigasi untuk menemukan pusat senjata pembunuh massal di Irak. Setelah tidak terbukti, isu pun berganti: menegakkan demokrasi.

Demikian halnya, ketika menangani kasus proyek pengayaan uranium di Iran, ia begitu saja mencampakkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dengan mengeluarkan statemen penyerangan pusat proyek tersebut. Pimpinan IAEA, Mohamed ElBaradei mengambil sikap tegas dan menyatakan akan mundur jika kekuatan utama meluncurkan suatu serangan militer melawan program nuklir Iran. Sebab menurutnya invansi militer melawan Iran akan menciptakan bahaya besar pada Timur Tengah dan dunia. Pada saat yang sama, ElBaradei menjamin non-diversinya pengumuman materi nuklir dalam aktifitas nuklir negara tersebut.

Ironis memang, AS sebagai gembong modernitas dan pengusung globalisasi kemudian bertindak primitif. Tidak menghargai persaingan secara sehat dengan pihak-pihak yang dianggap tidak sepakat dan menentang setiap pandangan dan kebijakannya. Sikap hipokrit para petinggi negeri AS tersebut, disadari betul oleh masyarakat AS. Gayung bersambut, Barack Obama hadir dalam saat yang tepat. Obama, pada kompetisi perebutan tiket sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat, melempar isu dan manuver yang berseberangan dengan Bush; menringankan pendekatan diplomasi dengan Iran dan mengharapkan tentara AS untuk keluar dari Irak.

Pertanyaannya, apakah kebijakan dan isu elegan yang diusung Obama bisa dengan leluasa melenggang ke puncak kursi kepresidenan sementara kursi panas kepresidenan AS dikelilingi kursi-kursi lobi Yahudi? Katakanlah dalam masyarakat yang terbuka, lobi Yahudi tidak efektif mempengaruhi masyarakat pemilih dan masyarakat AS sehingga mampu memenangkan Obama. Tapi bagaimana jika sudah dalam ruang sidang tertutup, dimana hanya dihadiri oleh orang-orang berpengaruh, apakah Lobi Yahudi tetap tidak punya daya cengkeram?

John Mearsheimer dan Stephen Walt, dalam bukunya 'The Israel Lobby and US Foreign Policy' memaparkan bahwa lobi Yahudi-Zionis memiliki pengaruh yang sangat kuat dan luas di AS. Lobi ini mampu mendiktekan kehendak dan kemauannya terhadap pemerintah AS untuk kemudian melalui tangan AS, mereka menguasai negara-negara lain di dunia. Di dalam buku tersebut, terungkap jelas bahwa serangan ke Irak karena hasutan Lobi Yahudi, bukan alasan minyak seperti yang selama ini diketahui. Apalagi karena senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan itu. Dan sekarang lobi terus berusaha agar AS menyerang Iran dan Suriah. Bila itu terjadi, bisa dibayangkan betapa besar jumlah korban yang akan jatuh, berapa banyak pula tentara AS yang akan mati. Semuanya demi kepentingan Israel. Negeri itu baru merasa aman bila semua tetangganya telah porak-poranda oleh serbuan tentara AS.

Senada dengan itu, Dr Elahe Rostami, pakar masalah Timur Tengah di London, dalam sebuah wawancara televisi Chanel Iran News Networking mengatakan kedekatan AS dan rezim Zionis Israel. Ia juga menyebutkan bahwa AS setiap tahun memberikan bantuan sebesar tiga miliar dolar AS kepada rezim Zionis untuk menyulut konflik di Timur Tengah. Dr Elahe Rostami juga mengatakan memang ada agenda dan aktivitas yang tersusun secara sistematis untuk mengubah opini dunia.

Dan negara-negara yang menyuarakan pembelaan kepada rakyat Palestina seperti Iran dan Suriah harus dimusuhi dan ditentang. Rostami juga mengatakan bahwa lobi Zionis-Yahudi di AS sama sekali tidak mentolerir adanya suara kritik penentangan dan protes terhadapnya. Hanya suara-suara yang mendukung diberi kesempatan untuk memperdengarkannya. Elahe Rostami menjelaskan invasi dan pendudukan yang dilakukan AS atas Irak dan Afganistan seluruhnya adalah hasil dari tekanan yang dilakukan orang-orang Zionis terhadap pemerintah AS.

Mengingat pengaruh lobi Yahudi-Zionis di pemerintahan AS sangat kuat membuat kita lebih banyak apriori terhadap perubahan politik yang terjadi di AS. Kalaupun ada suara sebaliknya, pada saat bersamaan juga berkelebat keyakinan bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama. Sebab Yahudi-Zionis begitu kuat memegang kaki kursi kepresidenan gedung putih, dan mereka tidak akan pernah tinggal diam sebelum keinginannya tercapai.

Pengaruh lobi Yahudi yang luar biasa tersebut membuat kita pesimistis bahwa pergantian pimpinan yang terjadi di langit Washington, akan diikuti perubahan kebijakan politik AS terhadap Timur Tengah. Siapapun yang memimpin tetap akan menempuh kebijakan politik yang serba keras dan selalu menggunakan pendekatan militer di Timur Tengah sebagaimana misi politik kaum Zionis yang menginginkan konflik selalu terjadi di kawasan Timur Tengah.

Kegembiraan kita melihat keseriusan Obama untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan politik luar negeri AS, khususnya mengenai kawasan Timur Tengah, memang cukup beralasan. Apalagi jika memperhatikan tindakan Obama ketika mengunjungi Afghanistan dan Irak bulan lalu dalam rangka kampanye mendapatkan dukungan politik. Tapi, sekali lagi, tampaknya tidak lebih dari sebuah kegembiraan yang seumur jagung.

Mengapa? Jawabnya; Pertama, Obama dengan isu perubahan kebijakan politik untuk melakukan cara diplomasi dengan Iran dan menginginkan adanya perdamaian di Timur Tengah adalah sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan politik Zionis-Yahudi yang menguasai pemerintahan AS.

Karenanya lobi Yahudi akan bekerja semaksimal mungkin guna menggagalkan Obama menduduk kursi kepresidenan di Washington dan di pihak lain melicinkan jalan Mccain, kandidat presiden dari Partai Republik. Kedua, kalau pun Obama lolos menjadi presiden maka lobi Yahudi akan bekerja pada tingkat elit. Lobi Yahudi akan berusaha mempengaruhi orang-orang penting di kabinet Obama untuk selalu merongrong sikap dan kebijakan politik Obama yang dianggap berseberangan dengan misi zionis. Ketiga, jika semua jalan telah ditempuh namun gagal maka jalan terakhir, bukan mustahil, menembak mati Obama.

Cara-cara seperti itu sangat mungkin dilakukan kaum Zionis-Yahudi. Apalagi jika memperhatikan pesan Alquran bahwa mereka tidak akan pernah diam atau senang sebelum orang-orang yang menentang pendapat dan keyakinannya mengikutinya. Satu hal penting lain yang perlu dicatat bahwa Obama lahir dari campuran darah muslim dan nasrani.

Kendati Obama menunjukkan niat dan keinginan baik untuk membangun sebuah jembatan baru untuk memperbaiki dan memperlancar hubungan antara AS dengan negara-negara di wilayah Timur Tengah, namun tidak semestinya disambut dengan euphoria berlebihan yang bisa membuat kita lengah untuk terus mewaspadai sepak terjang lobi Yahudi di belakang pemerintahan AS. Karena tidak menutup kemungkinan, Obama sewaktu-waktu bisa kalah atau dengan kata lain sedikit melunak --jika menang-- akibat pengaruh dan tekanan yang kuat dari kekuatan lobi Yahudi. Atau dengan kemungkinan terburuk Obama terbunuh.

Dengan begitu sikap Iran dan Suriah yang tidak mau tunduk begitu saja pada titah AS yang berstandar ganda, sejauh ini dapat dikatakan sudah berada pada jalan yang benar. Memang harus ada negara yang berani berdiri tegak menghadapi segala macam alibi pemerintahan AS yang dicengkeram cakar maut Zionis. Jika tidak, negara di Timur Tengah akan menjadi sapi piaraan yang sengaja digemukkan untuk kemudian diperas

No comments: