02 July 2008
ISTANA
Asww.
Bung Karno tergolong suka menggunakan ungkapan sarkastik. Satu di antaranya adalah ungkapan Islam Sontoloyo. Dalam tulisannya di majalah Panji Islam terbitan Medan, 1940, Bung Karno menggolongkan kalangan Islam yang jumud (beku) dan tidak rasional, sebagai Islam Sontoloyo.
Dr Clenik, pojok sentilan Harian Merdeka milik BM Diah, sering pula menggunakan ungkapan tersebut ketika mengkritik kebijakan pemerintah. Pada 90-an awal, sebagai wakil pemimpin redaksi saya meneruskan tradisi Dr Clenik itu: Sontoloyo!
Kini sontoloyo --yang antara lain berarti konyol-- populer kembali melalui Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar. Kepada pers, Kamis (26/6), Syamsir menyebut menteri-menteri asal parpol yang partainya menyetujui hak angket, sebagai menteri sontoloyo. "Di kabinet mereka setuju BBM naik, di luar ngomong-nya lain. Sontoloyo."
Syamsir tampaknya kecewa atas perilaku sejumlah partai yang setuju hak angket. Kecuali Partai Demokrat dan Partai Golkar yang konsisten, partai-partai lain dalam pemerintahan yang semula menolak hak angket, justru berbalik mendukung hak angket. Partai-partai tersebut menyetujui hak angket dengan alasan untuk memperbaiki kebijakan energi pada masa mendatang, bukan untuk pemakzulan. Penegasan partai-partai tersebut penting untuk tetap dipegang.
Rakyat lelah menyaksikan drama reformasi. Dalam tempo sepuluh tahun, sudah empat kali pergantian presiden dalam dua kali pemilihan umum. Pak Habibie yang cukup berhasil menahan negara ini tidak ambruk, jabatannya berakhir ketika partai-partai mementingkan syahwat politiknya daripada perbaikan ekonomi. Penggantinya, Gus Dur, jatuh sebelum jabatan berakhir. Pemerintahan berikutnya dipimpin Megawati.
Dalam pemilihan langsung, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, terpilih sebagai presiden dan wapres. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi negara ini. Konflik puluhan tahun di Aceh, konflik Poso, dan Maluku, dapat diselesaikan. Pertumbuhan ekonomi terus membaik dari sebelumnya. Posisi Indonesia di fora internasional pun semakin kuat.
Setahun menjelang akhir jabatan, SBY-JK mengambil risiko untuk tidak populer dengan mengurangi subsidi BBM. Ini bukan untuk diri dan kekuasaan mereka, melainkan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan akibat melonjaknya harga minyak dunia. Siapa pun presiden --dalam situasi harga minyak yang tak terkendali-- akan mengambil keputusan tidak populer itu, kecuali pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan kekuasaannya.
Setahun lagi masa jabatan presiden dan wapres. Biarlah rakyat yang menentukan nasib presiden dan wapres pada pemilu mendatang. Dalam transisi demokrasi sekarang ini, menjatuhkan presiden sebelum akhir jabatannya dapat berakibat fatal dan frustrasi berkepenjangan terhadap demokrasi. Ini seperti membangun istana pasir, mudah sekali runtuh.
Dibangun, runtuh lagi. Dibangun lagi, runtuh lagi. Jika demikian, maka malang sekali nasib bangsa dan negara ini dalam permainan para politisi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment