08 May 2008

MUSLIM ASIA /Multi Etnik


Asww.

Perkembangan historis dan dinamika Islam di Asia--tidak termasuk kawasan Timur Tengah--kian menarik perhatian. Dalam dasawarsa terakhir khususnya, ketika berbagai perkembangan menarik dan krusial terjadi di berbagai penjuru dunia menyangkut hubungan masyarakat Muslim dan Barat, tatkala itu pulalah Islam di kawasan Asia di luar Timur Tengah kian menjadi perhatian. Bahkan, kaum Muslimin di Benua Asia yang multikultural diharapkan memainkan peran lebih besar dalam menciptakan kehidupan internasional yang adil, aman, demokratis, dan sejahtera.

Kenapa Islam di Asia? Salah satu faktor pertimbangannya adalah Asia memiliki ciri dan karakter yang relatif khas sebagai benua yang multikultural. Hal ini bukan hanya dari keragaman bangsa dan etnis serta tradisi sosio-kultural, tetapi juga dari segi agama; di kawasan Asia bisa ditemukan agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Shinto, Tao, Konghucu, Islam, dan Kristianitas (Katolik dan Protestan).

Para pemeluk agama yang berbeda itu selama berabad-abad terlibat dalam interaksi sosial, budaya, dan politik yang intens; perjumpaan di antara mereka dalam kurun waktu yang panjang berlangsung damai, walau dalam episode sejarah tertentu juga terjadi ketidakrukunan dan konflik.

Pengalaman Islam di Asia yang multikultural itu cukup unik sepanjang sejarah perkembangan dan dinamikanya. Subjek ini menjadi salah satu tema Konferensi Williamsburg ke-36 yang diselenggarakan The Asia Society pada 3-6 April lalu di Bali. Pembicaraan tentang subjek ini menghadirkan Visakha N Desai, presiden The Asia Society sebagai fasilitator; MJ Ahmad, wartawan senior dan penulis asal India; Karim Raslan, penulis dan pengacara Malaysia; Dewi Fortuna Anwar, deputi ketua LIPI; dan saya sendiri.

Satu hal sudah jelas; jumlah para penganut Islam secara keseluruhan jauh melebihi kaum Muslimin di tempat-tempat lain, khususnya di Timur Tengah yang merupakan tempat kelahiran dan perkembangan awal Islam. Berbagai kajian menunjukkan bahwa perkembangan Islam di kawasan Asia melibatkan proses sangat panjang, yang umumnya berlangsung dengan damai; konversi masyarakat Asia ke dalam Islam berlangsung selama berabad-abad melalui interaksi dan akomodasi yang panjang pula. Dan proses seperti itu masih terus berlangsung sampai sekarang ini.

Tetapi juga jelas, kaum Muslimin di Asia juga tidak seragam. Bahkan, setidaknya Islam di Benua Asia mencakup beberapa wilayah kebudayaan Islam; Anak Benua India (mencakup masyarakat Muslim di India, Pakistan, dan Bangladesh), nusantara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Patani, dan Mindanau); dan Sino-Islamic (Cina, Korea, dan Jepang). Masing-masing kawasan--sebenarnya juga tidak monolitik--menampilkan ekspresi sosio-kultural dan keagamaan relatif berbeda, yang multikultural pula, meski pada tingkat akidah dan ibadah tidak banyak perbedaan.

Dalam ranah politik kaum Muslimin Asia juga berbeda. Hal ini dipengaruhi bukan hanya posisi dan karakter kaum Muslimin vis-a-vis umat beragama lainnya, tetapi juga karena warisan sejarah kolonial yang ada. Di Anak Benua India, misalnya, Dinasti Muslim Mughal pernah mempersatukan wilayah ini dalam kekuasaan tunggal, yang kemudian dilanjutkan dengan kekuasaan kolonial Inggris. Tetapi, ini berakhir dengan pemisahan India dan Pakistan (Barat dan Timur) pada 1947; dan bahkan Pakistan kemudian pecah menjadi Pakistan (Barat) dan Bangladesh. Jika India dengan mayoritas penduduk beragama Hindu kemudian menjadi negara sekuler, sebaliknya Pakistan bereksperimen sebagai negara Islam.

Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia mewujudkan diri sebagai negara Pancasila; bukan 'negara Islam' dan juga bukan negara sekuler. Bahkan, Islam tidak menjadi agama resmi negara; Islam bersama lima agama lainnya (Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) hanya disebut sebagai 'agama yang diakui negara'. Ini berbeda dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang menjadikan Islam sebagai agama negara, dengan segala konsekuensinya.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari perbedaan tersebut? Pertama-tama, tidak ada model yang baku di antara negara-negara tersebut sejauh menyangkut hubungan agama, khususnya Islam, dengan politik. Hal ini tidak lain karena realitas, pengalaman, dan dinamika kaum Muslimin di masing-masing negara berbeda satu sama lain. Dan kenyataan ini juga benar dalam konteks kaum Muslimin di kawasan lain, seperti di Timur Tengah. Karena itu, mengambil pengalaman dan model di tempat lain bagi sebuah masyarakat negara-bangsa di Asia Tenggara menjadi sesuatu yang absurd.

Dalam konteks itu, masyarakat Muslim di Asia Tenggara sepatutnya lebih berusaha memberdayakan dan memperkuat model mereka sendiri yang tumbuh dan berkembang atas dasar realitas dan pengalaman yang mereka tempuh selama ini. Jika penguatan itu bisa dilakukan, maka masyarakat Muslim di negaranya masing-masing dapat memberikan kontribusi yang lebih maksimal bagi kesejahteraan anak bangsa.

1 comment:

Chritis Ghaza said...

thank brow atas infonya sangat berguna bangets deh..........gua tunggu info selanjutnya by....