16 January 2013

Mencintai dan memuliakan orang shalih merupakan sarana taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah. Generasi sahabat adalah generasi yang ditarbiyah oleh Rasulullah saw dan mereka adalah orang-orang shaleh. Di antara tanda mencintai Rasulullah saw adalah dengan mencintai dan memuliakan para sahabatnya. Menjadikan mereka teladan dan panutan. Allah berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Al-Maidah:55-56) Bagaimana Allah memuji kaum Anshar yang mencintai saudaranya, kaum Muhajirin seperti mencintai keluarga mereka sendiri. Firman Allah: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr:9) Karena seseorang akan bersama orang yang dicintainya seperti disebutkan dalam sebuah hadits: “Seseorang akan bersama orang yang dicintainya”. Mencintai orang shaleh, terutama para sahabat adalah lebih utama. Hendaklah seorang muslim menahan diri untuk tidak membicarakan para sahabat dengan pembicaraan yang tidak pantas. Mereka telah memberikan perjuangan dan pengorbanannya kepada Islam. Kenapa kita tidak berfikir apa yang akan kita berikan kepada Islam daripada membicarakan. Barang siapa yang membenci dan memusuhi orang shaleh, termasuk para sahabat Nabi saw, maka Allah telah mengancam mereka dalam sebuah hadits qudsi: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (para sahabat dan orang-orang shaleh), maka sungguh Aku kumandangkan perang atasnya”. (H.R. Bukhari) Perjuangan dan pengorbanan mereka untuk dakwah Islam telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan pujian dari Allah Taala serta keutamaan dan kemuliaan dari orang-orang setelahnya. Allah berfirman: “…Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan hartanya dan berperang sebelum penaklukan Makkah. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik…” (Al-Hadid:10) “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal selamanya. Itulah kemenangan yang besar” (At-Taubah:100) “Juga bagi para fuqaha yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka karena mencari karunia dari Allah dan mereka yang menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang menempati kota madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka yang tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka yang mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr:8-9) Para ulama juga menyebutkan keutamaan para sahabat, baik secara umum maupun secara khusus pada kitab karangan mereka, seperti yang disebutkan Imam Muslim dalam kitabnya, Bab: “Larangan mencaci para sahabat dan keutamaan mereka atas generasi berikutnya”, antara lain hadits berikut, Rasulullah saw bersabda: لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أدرك مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ . رَوَاهُ مُسْلِم ”Janganlah sekalian mencela para sahabatku! Janganlah sekalian mencela para sahabatku! Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai satu mud-pun dari kebaikan salah seorang sahabat, apalagi separuhnya”. (H.R. Muslim) Hadits tersebut mengatakan dengan tegas tentang haramnya menghina para sahabat manapun dari sahabat Rasul, terutama para sahabat yang selalu menyertainya. Secara umum, sesama muslim dilarang saling mencela sebagaimana sabda Rasul saw: المُسلِمُ أَخُو المُسلِمِ لاَ يَظلِمُهُ وَلَا يَخذُلُهُ وَلَا يَحقِرُهُ التَقوَى هَاهُنَا – وَ يُشِيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسبِ امرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَن يَحقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ كُلُّ المُسلِمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرضُهُ . رَوَاهُ مُسْلِم Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; Tidak boleh menzhalimi atau menghinakan atau mencelanya. Ketakwaan ada di sini –sambil menunjuk ke arah dada tiga kali. Cukuplah seorang muslim itu menjadi jelek hanya dengan mencela saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darahnya, harta, serta kehormatannya. (H.R. Muslim) Pujian secara khusus juga dialamatkan kepada beberapa sahabat, terutama sepuluh orang sahabat yang dijamin Allah masuk surga, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dari Sa’id bin Zaid r.a. Mereka itu adalah Abu Bakar, Umar bin Khathab, Usman bin ‘Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Malik, Abdurrahman bin Auf, ‘Ubaidah bin Al-Jarrah dan Sa’id bin Zaid. Hadits lain juga berisi tentang keutamaan dua orang sahabat mulia, Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khathab r.a. antara lain: لَوِ اتَّخَذْتُ خَلِيلا لاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلا وَلَكِنَّهُ أَخِي وَصَاحِبِي ، وَقَدِ اتَّخَذَ اللَّهُ صَاحِبَكُمْ خَلِيلا Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya orang yang paling setia menemaniku adalah Abu Bakar, seandainya aku harus memilih seorang khalil (teman setia), maka Abu Bakarlah yang menjadi khalilku, namun dia hanya sebagai saudara sesama muslim.”. (Muttafaq ‘alaih) Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Usman, “Saya mendapat khabar dari Amru bin Ash bahwa Rasulullah saw mengutusnya dalam peperangan As-Salasil, lalu aku mendatanginya dan bertanya, ”Siapa orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “’Aisyah”, saya bertanya lagi, “Dari kaum lelaki?” Beliau menjawab, ”Ayahnya” (Abu Bakar). Aku bertanya kembali, ”kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Umar”, maka beliau menyebutkan nama sahabat yang lainnya setelah Umar. Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Jenazah Umar bin Khathab diletakkan di atas tempat tidurnya (setelah wafat karena terbunuh), lalu dikerumuni para sahabat yang mendoakan, memuji, dan menshalatinya sebelum jenazahnya diusung. Saya (Ibnu Abbas) berada di antara mereka dan saya dikejutkan oleh seorang yang memegang pundakku dari belakang, maka aku menoleh ternyata dia adalah Ali bin Abu Thalib. Beliau merasa iba terhadap Umar lalu berkata (kepada jenazah Umar), “Kamu tidak meninggalkan seorang pun yang lebih dicintai daripada berjumpa dengan Allah dan orang yang beramal seperti amalmu. Demi Allah! Kalau menurut perkiraanku, Allah pasti akan menjadikanmu seperti kedua sahabatmu (Nabi dan Abu Bakar), karena saya sering mendengar beliau (Nabi saw) bersabda, “Saya, Abu Bakar dan Umar datang…. Saya, Abu Bakar dan Umar masuk… Saya, Abu Bakar dan Umar keluar…..”. Jadi, saya mengira dan berharap agar kamu ditempatkan bersama mereka berdua.” Hadits-hadits yang berisi tentang keutamaan Usman bin Affan r.a., Ali bin abi Thalib r.a. dan sahabat lainnya secara khusus juga ada. Maka kedudukan mana lagi yang lebih mulia dari kedudukan mereka di sisi Tuhannya? Sabda Rasulullah saw pasti benarnya! Ada sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tijari dan Abu Daud dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dia menuturkan, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib), ”Yaa Abi, siapa manusia terbaik setelah Rasulullah saw?” Ayahku menjawab, ”Orang yang terbaik setelah beliau adalah Abu Bakar”. Saya bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi ya Abi?” Beliau menjawab, ”Umar adalah yang terbaik setelah Abu Bakar”. Kemudian saya takut untuk bertanya, siapa lagi, sampai akhirnya beliau berkata, ”Usman”. Saya bertanya lagi, ”Lalu engkau hai Abi?” Beliau menjawab, ”Saya hanyalah seorang Islam biasa”. Imam Ja’far As-Shadiq rahimahullah menuturkan bahwa ada seorang lelaki Quraisy menghadap kepada Ali bin Abi Thalib r.a. (pada masa pemerintahannya), lalu berkata, “Hai Amirul mukminin, saya baru saja mendengar khutbahmu, ”Ya Allah, anugerahilah kami kesejahteraan seperti Engkau telah memberi kesejahteraan kepada khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk”. Siapakah mereka?” Kedua bola mata Ali r.a. berkaca-kaca lalu menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, ”Mereka adalah dua kekasihku dan masih pamanmu, yaitu Abu Bakar dan Umar, pemberi petunjuk dan pemuka Islam, penunjuk jalan kebenaran sesudah Rasulullah saw. Barangsiapa mengikutinya, niscaya selamat, dan siapa yang mengikuti jalan hidup mereka niscaya berada di jalan yang benar, dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada keduanya, niscaya dia menjadi pasukan Allah. Hanya pasukan Allahlah yang bahagia”. Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a ditanya seseorang, ”Apakah mencintai Abu Bakar dan Umar itu sunnah?” Beliau menjawab, ”Bukan sunnah, tetapi wajib hukumnya!“ Muhammad Al-Baqir bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan Umar berarti dia tidak mengetahui hadits”. Mencintai juga berarti meneladaninya dan menjadikannya tokoh bagi anak dan kelaurga kita, masyarakat dan bangsa, wallahu a’lam. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/26051/mencintai-sahabat-dan-orang-shalih/#ixzz2IJY26HVh

No comments: