http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/ilustrasi-_121210191159-523.jpghttp://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/ilustrasi-_121210191159-523.jpgPraktik komunikasi sebagai kebutuhan manusia sehari-hari dalam menyampaikan ide dan pesannya membutuhkan dasar-dasar ilmu filsafat sebagai induk keilmuan dan juga psikologi karena terkait dengan kepribadian seseorang (komunikan) yang kita hadapi.
Komunikasi yang berkembang di Eropa karena proses akulturasi budaya ini secara riil telah dipraktikkan pada zaman Rasulullah baik melalui proses turunnya kalamullah antara Allah (komunikator utama), Jibril (perantara) dan terakhir Rasulullah (sebagai penerima pesan pertama) yang akhirnya sebagai komunikator untuk seluruh sahabat sezamannya.
Kemudian, pesan-pesan Rasulullah yang berupa qauli (perkataan), fi’li (perbuatan) dan taqriri (ketetapan), disampaikan secara orisinil dengan persyaratan ketat dimana seorang perawi sendiri harus memiliki daya ingat yang kuat serta tidak pernah berdusta untuk dapat dikategorikan penyampai hadits yang terpercaya.
Pembukuan Alquran dan hadis inilah capaian tertinggi umat Islam yang tetap terjaga keasliannya, serta babak baru bentuk komunikasi Islam dalam bentuk dakwah baik seruan langsung, bil haal maupun bil qalam zaman Rasulullah.
Dalam ilmu komunikasi, ada beberapa jenis komunikasi; komunikasi intrapersonal, interpersonal, komunikasi kelompok yang seluruhnya terdapat dalam Al-Quran juga yang lebih penting adalah komunikasi transendental.
Mari kita simak ayat komunikasi intrapersonal dalam QS Al-Ghasiyah 17-20 ini, “Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Ayat di atas apabila ditinjau dari perspektif psikologi komunikasi termasuk kepada komunikasi intrapersonal dengan proses berpikir. Berpikir melibatkan semua proses sensasi, persepsi dan memori. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas. Pada surat inilah Allah memerintahkan manusia untuk memerhatikan dan memikirkan semua ciptaan-Nya.
Kedua, dalam komunikasi interpersonal dapat dicontohkan dari dialog Nabi Ibrahim dan Namrud dalam Surah Al-Baqarah ayat 258. Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan." Ia (Namrud) berkata, "Aku dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu terdiamlah orang kafir itu.”
Dalam komunikasi interpersonal ada yang disebut dengan konsep diri yaitu pandangan tentang diri. Konsep diri memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.
Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Konsep diri Namrud yang angkuh inilah membawa dirinya kepada kebuntuan pikiran dan argumentasi karena merasa mampu menyaingi kuasa Allah.
Ketiga, komunikasi kelompok yang salah satunya terdapat dalam QS Al-Mulk, “... apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”
Terakhir, komunikasi transendental sebagai bentuk kekayaan Alquran, menghadirkan khazanah baru dalam dunia komunikasi. Komunikasi transendental sendiri banyak dideskripsikan dalam Alquran berupa doa-doa para Nabi. “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, (QS. Nuh: 21).
Alquran sebagai 'hadiah' berharga dari Allah bagi manusia yang disampaikan secara berangsur-angsur kurang lebih 23 tahun ini telah jelas menyampaikan dasar-dasar komunikasi dalam beberapa ribuan ayatnya. Penyampaian ini bertujuan agar kita meyakini bahwa kitab suci ini adalah Mahakarya Ilahi yang setiap kedahsyatan ciptaan-Nya harus senantiasa direnungi. Wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment