27 November 2008

Hukum


Asww.
Pertanyaan Ass. Mau nanya perbandingan tentang beratnya dosa antara melakukan onani dengan berzinah, karena teman saya mengatakan "daripada melakukan onani lebih baik berzina dengan pacarnya, karena dosanya sama, dan lebih enak zina" dan dia bilang bahwa onani itu sama seperti berzina dengan ibu kandung sendiri, apakah itu benar??

Mohon pencerahannya, terima kasih.


Jawaban Assalamu'alaikum wr.wb

Segala puja dan syukur kepada Allah, shalawat salam untuk RasulNya.

Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk (hidayah) pada jalan yang lurus, termasuk meluruskan cara berfikir kita, pemahaman kita tentang agama Islam.

Zina dan onani adalah dua hal yang sangat berbeda, baik dari segi kedudukan, maupun definisi atau bentuk perbuatan. meskipun keduanya ada sisi yang sama, yaitu sama-sama mengeluarkan sperma, akan tetapi kesamaan itu tidaklah menjadikan kedua perbuatan itu sama dalam syariah Islam, atau di hadapan Allah, atau di mata hukum positif sekalipun.



Pemahaman teman anda tentunya pemahaman yang salah. dari beberapa sudut pandang, zina dilakukan oleh dua orang lawan jenis yang tidak halal, laki perempuan yang tidak ada ikatan pernikahan, dalam zina seseorang telah meneteskan benih sperma di rahim orang lain yang tidak halal baginya, didalam zina ada penodaan terhadap harkat dan martabat seseorang, baik laki maupun perempuan, terlebih adalah perempuan. bahkan bukan hanya yang bersangkutan saja aib derita itu ditanggung, tapi kepada keluarga besarnya. dan masih banyak penilaian buruk dalam perbuatan zina, meskipun zina itu dilakukan suka sama suka, ia tetaplah perbuatan dosa besar yang sangat keji, sebagaimana hal itu dinyatakan Allah :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk (QS. al-Isra':32).

Cukuplah sebagai bukti bahwa zina merupakan dosa besar, hukuman bagi pelakunya dalam perspektif syariah Islam, ia dihukum rajam sampai mati, hal ini jika pelakunya adalah orang yang muhson (sudah berkeluarga), namun jika belum berkeluarga maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dalam kontek sekarang mungkin dipenjarakan) selama satu tahun.

Pernyataan teman anda yang mengatakan onani sama dengan berzina dengan ibunya, adalah pernyataan yang tidak benar, mungkin ia pernah mendengar / salah dengan pengajian atau baca tulisan yang tidak begitu jelas atau ia lupa. yang sama seperti menzinahi ibunya adalah dosa orang yang memakan harta riba, dalam satu hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Abu Hurairah Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: riba mempunyai tujuhpuluh dosa besar, yang paling ringan adalah seperti –dosa- seseorang menikahi / menggauli ibunya sendiri (HR. Ibnu Majah)

Adapun onani, secara syariah / fiqih islam masih diperdebatkan dikalangan ulama'2 Islam, antara apakah ia termasuk diperbolehkan atau diharamkan. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya:

1. Ulama' Yang mengharamkan, Umumnya berpegang kepada firman Allah SWT: "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu‘minun: 5-7). Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.

Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun ‘alaih. Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan‘ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa.

Sedangkan Imam Asy-Syafi‘i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.

Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta‘zir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.

2. Yang membolehkan Diantara para ulama yang membolehkan istimna‘ / onani antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak. Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani". Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).



Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna‘ adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.

Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi‘iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.

Namun sebagai catatan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:1. Karena takut berbuat zina. 2. Karena tidak mampu kawin.



Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. Terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu‘min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. Bersabda sebagai berikut: "Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari). Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini. Wallahu a‘lam bis-shawab.



Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb

No comments: