19 November 2008

Bilal


Asww.
Pemuda kulit hitam dan penyanyi rap Muslim yang tengah berjuang melawan kemiskinan

Bilal Chin dibesarkan di London, namun berkelana hingga ke Mesir dan tinggal disana sekitar setaun. Kini lelaki di tengah usia 20-an itu berkata Mesir baik untuknya, sebab membantu ia keluar dari lingkungan untuk memulai hidup baru lebih yang lebih segar.

Ia menjaid Muslim saat berusia sembilan belas tahun. Ia mengaku pertama kali tak begitu mengerti apa itu Islam. Ketika ia melihat setiap wanita dengan kerudung dan siapa pun yang berpuasa ia berpikir mereka adalah orang Asia atau Arab dan itu sekedar bagian dari budaya mereka.

Dulu ia tak tahu apa itu agama dan tak ada seorang pun yang mengajarinya tentang agama. Kemudian, setelah ia memeluk Islam, ia teringat gadis-gadis di sekolah yang biasa mengenakan jilbab, dan menyadari jika mereka adalah Muslim.

Sebelum Islam, musik adalah hal sangat penting dalam hidupnya, bahkan ia tergabung dalam band musik. Bilal adalah penyayi rap yang sekaligus mencoba berbisnis musik bersama seorang teman. Kakak sang teman ialah salah satu tokoh dihormati dalam komunitas sekaligus pemilik banyak uang.

"Di London selatan tiap orang menginginkan pengakuan dan uang, dan jika mereka memiliki keduanya, mereka dianggap sosok yang sukses," ungkap Bilal. Alasan itu, Bilal dan kawannya pun mencari segala cara untuk bisa menjadi teman si kakak.

Ketika memulai bermusik dalam band, Bilal dulu memegang posisi pemain keyboard dan beberapa instrumen musik berbeda lain. "Di wilayah bawah tanah London selatan saya memiliki nama 'decent rapper' (rapper terhormat).

Saat itu kakak sang teman dan beberapa kawan lain biasa berkumpul, bermusik, dan bersantai di sebuah ruang--di bagian bawah rumah kakak teman Bilal tadi. Beberapa kali dalam sehari ia mengamati, jika kakak temannya akan turun kebawah dan meminta mereka mengecilkan musik sekitar 5-10 menit. Bilal pun tahu jika ia akan beribadah karena itu ia meminta mereka mengecilkan suara musik.

"Kakak teman saya tidak pernah berkotbah pada saya atau teman-teman lain, secara sederhana ia hanya berbicara dan bertanya, apa tujuan hidup kami dan kemana mereka nanti pergi setelah mati," kata Bilal. Bilal sendiri--meski saat itu belum memeluk Islam--mengakui jika setiap orang di sekitar pasti akan mati dan ia selalu menyakini ada Tuhan,dan ketika orang mati mereka akan diadili.

"Saya merasa saat itu ucapakan saudara teman saya masuk akan," ungkap Bilal. "Karena itu saya ingin menjadi seseorang yang tahu tujuan hidupnya dan memastikan jika Tuhan menerima saya beserta semua yang telah saya lakukan semasa hidup," tutur Bilal

Namun saat itu pula Bilal menyadari jika ia dan teman-temannya menjawab pertanyaan itu dengan bebas; hidup dengan cara yang mereka inginkan dan melakukan apa yang mereka anggap benar. Pada saat yang sama, kaka si teman bertanya, bagaimana mereka tahu Tuhan akan menerima setiap perbuatan mereka. "Saya berpikir itu pertanyaan sangat bagus, bagaimana kita tahu, bahwa kita telah sesuai," kata Bilal.

Hingga satu hari, Bilal datang ke toko buku Islam lokal bersama kakak sang teman di London selatang. Bilal tertarik membeli satu Kitab Al Qur'an karena didorong rasa hormat dan sayang terhadap saudara temannya itu. Ia berpikir Al Qur'an pastilah begitu dalam hingga membuat pria (kakak teman) itu bertindak seperti apa yang ia pikirkan

"Namun ia tidak menganjurkan saya membeli itu, dan pemilik toko menyarankan jika saya harus membeli buku Harun Yahya," kata Bilal. Buku yang disarankan waktu itu berjudul 'The Truth of the Life of This World,' (Kebenaran dari Hidup di Dunia). Buku inilah yang kemudian mengajarkan Bilal cara berpikir Muslim dalam Islam.

Ia belajar jika uang bukanlah kesuksesan, dan orang-orang mungkin akan dikagumi dan dihormati di dunia karena uang banyak, dengan koleksi mobil yang merek miliki, rumah, pakaian. Bahkan keluarga akan menganggap itu adalah kesuksesan, namun bagi Tuhan semua bukan apa-apa.

Bilal juga belajar, jika Sang Pencipta menginginkan penyerahan diri. "Saya lalu berpikir, saya ingin membuat Tuhan senang atas apa yang saya lakukan, sebab ketika saya mati, saya pasti akan dihitung," kata Bilal. Ia juga tahu saat itu jika niat buruk dan apalagi perbuatan buruk tidak akan berdampak sebaliknya.

Kawan Muslimnya berkata--seperti dalam penuturan Bilal "Ketika kamu datang kepada Islam, Tuhan akan berlari menujumu,". Islam pun telah mengetuk pintunya sungguh-sungguh. Satu hari ia ingin membeli beberapa perlatan latihan dan meninggalkan sepedanya kepada seorang lelaki di pasar. Si lelaki itu berkata jika ia akan menjaga sepeda Bilal dan mengingikan Bilal membaca sebuah buku. Si lelaki itu adalah seorang Muslim.

"Saya masih ingat ketika masuk toko, penjaga toko berkatan "Asalamu'alaikum" saat berbicara di telepon," tutur Bilal. Ia menyadari jika penjaga toko itu seorang Muslim pula. "Saya merasa Islam mulai datang di setiap sudut hidup saya," ujar Bilal.

Buku yang diberikan penjaga sepeda rupanya berisi bagaimana beserah diri hanya kepada Allah karena hanya Ia yang berhak untuk disembah. Bilal lalu membaca lebih dalam apa itu Muslim; sesorang yang menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan--hal mendasar yang cukup meyakinkan Bilal untuk menjadi Muslim. Ia tahu tanpa keraguan jika agama yang benar menyuruh orang hanya menyembah pada Tuhan.

"Saya meyakini jika orang tidak seharusnya mengambil resiko dengan mengangkat derajat orang setingkat Tuhan, jika kita hanya akan memberikan semua status pada Tuhan. Itu membuat saya nyaman," ujar Bilal. Ia sendiri merasa ada yang salah ketika orang mengangkat Maria dan Yesus dalam tingkat status yang disembah dan dipuja. Ia berkata "Kita dapat belajar banyak dari mereka, namun menyembah hanya pada Tuhan," ujarnya

Ia mengalami semua perubahan itu dalam usia 19 tahun. Ia pun memasuki komunitas Muslim dan bertemu banyak warga asing untuk pertama kali. Ia masuk Islam pada hari Jumat, dan pergi ke masjid untuk pertama kali. Bilal mengaku saat itu tidak pernah melihat bagaimana Muslim beribadah.

Seorang Muslim mengajak ia turut serta. "Semua dalam bahasa Arab dan kenalan baru saya mengatakan untuk melihat dan mengikutinya. Imam memimpin ibadah dan setiap orang berkata, 'Amin'," tutur Bilal.

Bilal sedikit bertanya-tanya waktu itu, bagaimana cara ia tahu untuk melakukannya. Ia berpikir harus berlajar bahasa Arab jika ingin memahami semua itu, seketika ia menyadari jika ia harus ikut bergerak setiap kali imam berkata 'Allahu Akbar,". Sebagian besar orang yang ia temui saat itu adalah keturunan Asia.

Saat pertama kali ia merasakan keindahan. "Setiap orang terlihat bahagia ketika tahu saya Muslim, lalu memberi saya kartu nama, nomor telepon, dan mengundang saya ke berbagai tempat," tutur Bilal. "Saya merasa dicintai," ungkap Bilal lagi.

Namun setelah beberapa saat impresi itu sedikit berkurang. Bilal menemui jika ungkapan kasih semacam itu mungkin terbatas dan menyadari jika komunitas Muslim ternyata terbagi-bagi.

Ia mulai memiliki banyak teman Muslim di sekitar. Pada waktu yang sama teman-teman lamanya di jalanan menjadi penasaran dan banyak dari mereka masuk Islam lewat dirinya. Hal itu berlangsung, menyebar hingga Bilal bersama 3 teman, 10 teman, dan bahkan 50 teman dari latar belakangnya--pemuda kulit hitam--datang berbondong-bondong bersama ke masjid.

"Hari itu rasanya seperti sekumpulan antusias besar bersama--namun untuk pergi ke masjid dan beribadah," Para warga Asia, dengan masjid yang sering kali dikunjungi itu tidak menyangka melihat orang sebanyak itu datang ke masjid mereka.

Berjalan bersama di jalan untuk pergi ke masjid rupanya membuat pemuda-pemuda itu merasa bahagia. "Karen kami melakukan hal baik bersama-sama. Bayangkan 20-25 pemuda bersama untuk sholat, sangat luar biasa bagi kami," tutur Bilal.

Padahal banyak dari merek yang dulu terlibat aktivitas kriminal, dan kini mereka berbicara di jalan untuk pergi sholat bersama. Bilal bersama teman-temannya memang memiliki persamaan, yakni harus bergulat melawan kemiskinan dan pengangguran.

Mereka tergoda berbuat kriminal untuk kehidupan lebih baik, namun kini setelah memeluk Islam mereka menemukan tujuan hidup lebih baik. Bagi orang luar, menurut Bilal, mereka tampak seperti pemuda nakal yang biasa berbuat onar dan menjadi Muslim dengan label "geng serius"

"Itu hal yang kami sesalkan, meski apa yang kami perbuat bahkan pergi beribadah," ungkap Bilal. Ia dan teman-temannya hanya ingin melakoni hidup dengan mencontoh Nabi dan para sahabat.

Awalnya muncul sedikit masalah saat belajar Islam, karena sebagai Muslim baru banyak hal yang membingungkannya. "Orang-orang di satu masjid mengatakan untuk tidak pergi ke masjid lain begitu juga sebalikya," kata Bilal.

Namun ia juga menemukan jika masjid lain sebenarnya sama hangat dan terbukanya. Bilal berkata "Mereka membiarkan pemuda Muslim tidur di sana, dan masjid dibuka sepanjang malam. Mereka bilang masjid terbuka untuk setiap orang dan itu adalah rumah Allah," ujar Bilal. "Selalu ada orang yang mengajarkan bahasa Arab dan terasa seperti satu komunitas," kata Bilal lagi.

Bilal sendiri kini menghadapi tantangan lain. "Saya bahagia dengan kondisi saya saat ini, meskipun saya masih harus bergulat dengan kemiskinan, meski mungkin masih sulit keluardari kungkungan itu dan mencari kegiatan konstruktif, serta menemukan seorang wanita yang sesuai untuk diajak menikah tentunya,"./it

No comments: