06 August 2008
ISTIQAMAH
Asww.
Rusydi Hamka Belajar Istikamah dari Sang Ayah Tak gampang seorang bisa bersikap tegas dan konsisten. Tapi, itulah prilaku dan sikap yang paling mendalam dirasakan dalam hidup Rusdy Hamka (72) dari sang ayah, Prof Dr Hamka. Pria kelahiran 7 September 1935 ini memang paling banyak mengikuti perjalanan hidup almarhum Buya sebagai ketua Fron Pertahanan Nasional (FPN) di Bukit Tinggi Sumatera Barat.
Buya Hamka adalah seorang ulama yang tega. Yang paling akhir adalah ketika diminta pemerintah untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum MUI, karena tidak mau membatalkan fatwa MUI yang menegaskan Natal Bersama haram hukumnya,'' tegas Rusydi kepada Republika di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan Rabu (13/2) siang.
Sarjana Ilmu Publisistik ini mengungkapkan, sekitar tahun 1980-an ada permintaan dari daerah-daerah, dari para gubernur demi terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, karena itu perlu ada Natal Bersama seperti juga ada Idul Fitri Bersama. Kemudian MUI mengeluarkan fatwa yang menegaskan Natal Bersama itu haram, karena itu bagian dari ibadah.
Setelah fatwa MUI tersebut keluar, papar Rusydi, Menteri Agama waktu itu, Alamsyah Ratuperwiranegara meminta fatwa itu untuk segera dicabut. Buya Hamka tidak mau mencabut fatwa tersebut. Karena tetap pada pendiriannya, akhirnya Buya Hamka diminta mundur.
Kebetulan waktu itu ada undangan berkunjung ke Irak. Rusydi sendiri diajak berkunjung ke Irak. Sore hari ketika akan berangkat ke Irak, ia diminta untuk mengantar surat yang ditulis Buya Hamka hanya beberapa kalimat yang menyatakan ia mundur dari ketua MUI. ''Jadi, sebelum berangkat ke bandara kita mampir dulu ke kantor Departemen Agama untuk mengantar surat itu. Dengan senyum, beliau berkata, 'Masak iya saya harus mencabut (fatwa) tersebut,'' tandas Rusydi mengutip pernyataan sang ayah.
Contoh lain soal sikap tegas dan istikamah Buya Hamka adalah saat Buya Hamka yang juga pegawai Departemen Agama menjadi anggota konstituante Masyumi, walau tidak menjadi seorang pengurus. Tak lama setelah itu, keluar peraturan presiden, pegawai negeri yang tinggi harus memilih menjadi pegawai atau partai. Buya memilih menjadi anggota Masyumi dan keluar dari pegawai negeri.
Satu hal yang direkamnya, Buya tidak pernah memikirkan bagaimana nanti masalah gaji dan segala macam termasuk pensiun saat mengambil keputusan itu. Dia tidak bimbang sedikit pun, padahal kita semua termasuk ibu justru mencemaskan hal itu,'' papar Rusydi.
Menurut Rusydi, soal akidah, Buya Hamka tidak pernah bisa kompromi.Tapi untuk hal-hal yang ikhtilaf dan furu'iyah, ia tampak luwes. ''Misalnya, ketika suatu kali KH Abdullah Syafi'i datang ke Masjid Al Azhar. Waktu itu sebenarnya yang jadual khatib Buya Hamka. Ia kemudian meminta KH Abdullah Syafii menjadi khatib. Saat itulah dikumandangkan adzan dua kali pada shalat Jumat, padahal biasanya adzan satu kali,'' jelasnya.
Sikap luwes yang lainnya dalam bidang yang bukan prinsip, Rusydi menceritakan, juga terjadi ketika kali pertama kali Masjid Al Azhar digunakan untuk shalat tarawih. Buya Hamka sempat menjelaskan kepada para jamaah bahwa shalat tarawih bisa dengan 11 rakaat tapi juga bisa 23 rakaat plus witir. ''Waktu itu, jamaah meminta untuk 23 rakaat. Tapi besoknya para jamaah meminta untuk shalat delapan rakaat, sampai sekaran shalat tarawih di Masjid Al Azhar delapan rakaat,'' ujarnya.
Jadi, kalau soal akidah, beliau tidak ada kompromi. Tapi kalau soal furuiyah, ia bisa toleran. “Contohnya, ketika mengimami jamaah shalat subuh, almarhum Buya Hamka sempat bertanya terlebih dulu kepada jamaah, apakah mereka menggunakan qunut atau tidak? Ketika para jamaah mengatakan mereka menggunakan qunut, Buya Hamka yang merupakan tokoh dan penasihat Muhammadiyah, mengimami shalat subuh dengan qunut,'' tambah Rusyd
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment