09 June 2008

BARAKAH


Antara Berkah dan Kutukan

Guru saya di SD selalu bilang, batas antara berkah dan kutukan serta antara mudharat dan manfaat sangatlah tipis, setipis kulit ari. Ketika itu, beliau menerangkan bagaimana sungai Nil yang awalnya selalu membawa bencana banjir yang menyengsarakan masyarakat Mesir, tetapi setelah dibangun bendungan dan saluran irigasi ternyata mampu membawa kemakmuran, berupa produksi pangan dan buah-buahan.

Manusia dengan akal sehatnya mampu mengubah sumber bencana dan masalah menjadi suatu yang bermanfaat. Hal sebaliknya juga sering terjadi. Penggundulan hutan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Pesan moral dari pelajaran ilmu bumi tersebut selalu terngiang dalam telinga saya sampai saat ini. Menariknya, di Indonesia, tampaknya kekayaan alam justru terlalu sering menjadi kutukan dan bencana. Lantas apanya yang salah?

Di tengah kenaikan harga energi, pangan, dan logam seharusnya kita sedang menikmati masa-masa keemasan perekonomian. Yang terjadi justru sebaliknya. Kita sedang memasuki krisis energi dan keuangan negara. Harga berbagai komoditas telah naik tiga kali lipat dan semuanya ada dan dapat diproduksi di Indonesia. Secara keseluruhan, kita mengalami surplus energi.

Produksi minyak, gas, dan batu bara kalau kita jumlahkan akan setara dengan 4,4 juta barel minyak per hari. Kebutuhan dalam negeri hanya setara dengan 1,4 juta barel per hari. Kalau kita pandai mengelolanya, kita tak harus menaikkan harga BBM, mengalami krisis listrik dan gas, serta mengemis minta utang dan menjual BUMN.

Segala jenis logam juga ada. Dari mulai emas, nikel, timah, perak, kuningan, tembaga, besi, aluminium, sampai seng. Deposit emas terbesar di dunia berada di perut bumi Papua yang kini dikelola oleh Freeport. Kalau kita mau, seluruh peralatan makan sekalipun bisa berlapiskan emas. Dalam segi pangan, kita juga masih bisa bernapas lega. Kita telah menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Produksi dan konsumsi beras hampir berimbang. Kadang-kadang surplus, kadang-kadang minus.

Gula dan kedelai memang masih harus kita impor secara besar-besaran. Tapi, kalau kita mau, perluasan produksi masih dimungkinkan. Lahan yang nganggur saja masih sekitar 11 juta hektare. Tapi, mengapa semua potensi kekayaan alam itu tidak kunjung membawa berkah bagi rakyat? Kita malah seolah-olah menjadi bangsa yang dikutuk oleh kekayaan alam itu sendiri.

Sekadar untuk melakukan introspeksi, mari kita lihat kebijakan di bidang energi sebagai contoh yang membawa prahara. Bukan untuk saling menyalahkan. Tapi, untuk menjadi sebuah bangsa yang kokoh dan besar, kita harus belajar dari kesalahan kita sendiri.

Pertama, sebagaimana diungkapkan di atas, neraca energi kita masih menunjukkan surplus yang cukup besar. Masalah terbesar adalah di sisi konsumsi. Energi mix kita masih sangat berat pada minyak bumi yang memang produksinya terus-menerus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir.

Mestinya, kita lebih banyak menggunakan batu bara dan gas. Batu bara memang kurang ramah lingkungan. Tetapi, dengan perkembangan teknologi sekarang, sangat memungkinkan untuk meminimalkan emisi karbon dari pembakaran batu bara.

Briket sekalipun bisa dibuat untuk menghasilkan api biru seperti halnya gas. Batu bara juga bisa dilikuifikasi sehingga berfungsi seperti minyak solar. Kedua, kita justru lebih banyak menggunakan energi mahal dan sebaliknya energi murah 'terutama gas' kita ekspor. Untuk setiap satu liter bensin yang kita impor, kita harus mengekspor dua liter gas.

Infrastruktur gas alam tak kunjung dibangun. Padahal, biaya investasi pipanisasi sangat terjangkau, yaitu hanya sekitar Rp 25 triliun. Ini menurut estimasi Muhamad Qoyum, seorang pakar di bidang migas. Bandingkan dengan subsidi BBM yang tahun ini mungkin bisa mencapai Rp 200 triliun. Ketiga, investasi di bidang pembangkit tenaga listrik terasa teramat sangat lamban. Kalimantan Timur yang kaya minyak, gas, dan batu bara sampai saat ini listriknya masih byar-pet. Listrik Jawa-Bali sering mengalami pemadaman bergilir.

Bukan karena kita tak memiliki energi, tetapi ini lebih karena kita tak memiliki infrastruktur yang cukup untuk menggunakan energi secara efektif. Di tahun 2005 yang lalu, pada saat pemerintah menaikkan harga BBM, pemerintah telah menjanjikan akan melakukan upaya konversi dari minyak ke gas dan batu bara. Setelah tiga tahun, ternyata langkah yang diambil pemerintah tak kunjung menampakkan hasil yang signifikan. Ada hasil, tapi terlalu marjinal untuk bisa dirasakan.

Kalau saja kita bisa ngebut dalam menyediakan infrastruktur gas alam, bukan hal yang tidak mungkin seluruh rumah tangga di kota besar di Jawa bisa memasak langsung dari gas. Dengan demikian, tabung elpiji bisa digunakan oleh masyarakat di kota kecil dan pedesaan. PLN pun bisa membangkitkan listrik dari gas bukan dari solar sehingga biayanya menjadi lebih murah.

Kalau saja kita bisa ngebut membangun PLTU berbahan bakar batu bara di luar Jawa, tidak ada byar-pet lagi di Medan, Aceh, atau Balikpapan. Emisi karbon dari pembakaran batu bara bisa dinetralisasi dengan menggunakan teknologi baru. Kalau saja semua itu bisa dilakukan, bukan tidak mungkin sekarang kita tidak direpotkan dengan kenaikan harga BBM. Anggaran pemerintah juga bisa menjadi lebih tahan banting karena kita bisa mengurangi subsidi BBM tanpa menaikkan harga.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Kita tinggal mengharapkan langkah nyata ke depan dari pemerintah. Semoga kekayaan alam kelak tidak lagi menjadi ''kutukan'', tapi menjadi berkah bagi kita semua.

No comments: