29 January 2008

PEMIMPIN suatuKAUM ADALAH PELAYANNYA


Asww. MARILAH KITA MEMBERIKAN PELAYANAN YANG TERBAIK
JATUHNYA pemerintahan Orde Baru ternyata diikuti dengan makin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Ini akibat buruknya pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan pegawai negeri sipil. Ironisnya, ketika era otonomi daerah yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bergulir menyusul peralihan kekuasaan ke Orde Reformasi, banyak aparat birokrasi justru bersikap sok berkuasa. Selain mereka masih berorientasi pada kekuasaan, birokrasinya juga dibebani anggaran untuk membiayai dirinya sendiri.
INI membuat biaya resmi dan tidak resmi yang harus dikeluarkan pengusaha ketika akan berusaha misalnya, makin membengkak, sebab pejabat daerah menempatkan pengusaha (masyarakat) bukan sebagai warga yang harus dilayani, tetapi sebagai klien yang nasibnya bergantung pada pemerintah dan birokrasinya. Itulah pengalaman Wawan Herdiwan, pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menjalankan usahanya pada masa Orde Baru hingga Orde Reformasi sekarang ini."Jika di masa Orde Baru uang pelicin hanya sekitar 10 persen, sekarang membengkak hingga 25 persen dari nilai proyek," ungkap Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Ciamis itu. Banyak sekali pungutan yang harus dikeluarkan oleh pengusaha, baik resmi maupun tidak resmi.Ibaratnya, pungutan telah menanti ketika orang baru ingin berusaha dan belum akan berakhir ketika hasil usaha itu sudah habis dikonsumsi. Semua ini membuat iklim usaha di daerah itu tidak kondusif sehingga tidak banyak investor yang masuk. Namun, Sekretaris Daerah Kabupaten Ciamis Dedi Ahmad tidak sependapat. "Jika belum ada investor ke Ciamis, bukan karena banyak pungutan, namun iklim investasi nasional belum mendukung," ujarnya beberapa waktu lalu.Pemerintah daerah juga sering membuat aturan yang tumpang tindih dengan hukum di atasnya. Misalnya, jika sebelumnya pengurusan frekuensi radio cukup ke Menteri Perhubungan karena wewenang pemberian frekuensi masih dimiliki pemerintah pusat, namun sekarang juga harus ke pemerintah daerah lengkap dengan retribusinya. Sebab, Pemerintah Ciamis sudah membuat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi.Dalam perda itu disebutkan, untuk izin frekuensi radio FM ditarik retribusi Rp 2 juta setiap tahun dan izin televisi siaran Rp 25 juta per tahun. Selain biaya resmi itu, pengusaha juga dibebani biaya tidak resmi yang jauh lebih besar. Keadaan ini memang amat merugikan pelaku usaha, namun siapa yang berani mengontrol?Masyarakat umum akan kesulitan membongkarnya karena sebagian besar penyelewengan itu dilakukan tanpa bukti tertulis. Sementara, pengusaha akan cenderung diam karena jika berbicara mereka akan menghadapi dua risiko. Pertama, tidak mendapat izin/proyek, dan kedua masuk penjara. Sebab, dalam persidangan mereka akan turut dipersalahkan.Diakui Wawan, pemerintah sebenarnya telah berusaha memangkas jalur birokrasi dengan cara menyerahkan beberapa wewenang yang semula ada di pemerintah pusat atau provinsi ke daerah tingkat dua. Ini terlihat, misalnya, dalam pembuatan surat izin usaha jasa konstruksi yang semula di tingkat provinsi, namun sekarang cukup di tingkat kota/kabupaten. Masalahnya, penyerahan wewenang ini membuat aparat pemerintah daerah merasa berkuasa hingga bertindak ngawur.Ia mencontohkan, sejak tiga tahun terakhir, di Ciamis tidak ada lelang terbuka. Hampir semua proyek dilaksanakan dengan penunjukan. Kalaupun ada lelang, itu hanya sebatas formalitas hingga tidak diumumkan lewat media dan pemberitahuan kepada asosiasi. Tidak aneh kalau banyak ditemukan kasus lelang bermasalah. Misalnya, lelang pengadaan obat di Dinas Kesehatan Ciamis tahun 2003 senilai Rp 1,5 miliar yang sekarang sedang disidik Kejaksaan Negeri Ciamis.APA yang dialami Wawan dan masyarakat Ciamis umumnya merupakan contoh betapa buruknya pelayanan birokrasi di republik ini. Meluasnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) semakin mencoreng birokrasi publik. KKN tidak hanya membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal pelayanan.Tidak hanya ketika menyelesaikan urusan KTP, paspor, dan berbagai perizinan, tetapi juga ketika mereka mengonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan sektor swasta, seperti jalan tol, semen, transportasi, dan komoditas lainnya. KKN menjadi sumber bureaucratic costs dan distorsi dalam mekanisme pasar, seperti praktik monopoli dan oligopoli yang amat merugikan kepentingan publik."Praktik-praktik KKN membuat birokrasi publik semakin jauh dari masyarakatnya," ujar Agus Dwiyanto dalam bukunya, Reformasi Birokrasi Publik yang diterbitkan Pusat Studi dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Padahal, dengan bergulirnya reformasi, seperti diakui Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Feisal Tamin, tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik makin meningkat.Saat ini nilai penting pelayanan pemerintah terhadap publik yang direpresentasikan dengan nilai pelayanan pegawai negeri sipil (PNS) tidak dalam kondisi yang diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap buruknya kinerja pemerintah sebagian besar dipengaruhi oleh buruknya kinerja PNS dalam melayani masyarakat. Akibatnya, muncullah krisis kepercayaan terhadap PNS.Krisis kepercayaan ini amat mudah dipahami mengingat birokrasi publik selama ini menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil maupun militer, dalam rezim Orde Baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa.Kepentingan penguasa menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan publik, di mana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik amat terbatas.Apalagi secara historis, birokrasi di Indonesia tidak memiliki tradisi untuk menempatkan kepentingan masyarakat dan warga negara sebagai sentral. Sejak zaman kolonial sampai dengan Orde Baru, kepentingan masyarakat dan warga negara selalu memiliki posisi yang amat marjinal. Tidak heran kalau kinerja birokrasi Indonesia kemudian menjadi rendah.Rendahnya kinerja birokrasi ditentukan banyak faktor, baik dari dalam ataupun di luar. Di sisi sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia, rendahnya kinerja birokrasi bisa dipahami dari latar belakang dan tujuan pembentukan birokrasi, baik di dalam zaman kerajaan, penjajahan, dan Orde Baru.Di zaman kerajaan, birokrasi kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat, karena itu orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi melayani dan menyejahterakan raja dan keluarganya, yang mereka adalah para penguasa.Di zaman kolonial, bahkan cenderung memperoleh penguatan karena pemerintah kolonial berusaha menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah Belanda berusaha memperkenalkan perubahan dan nilai birokrasi modern, tetapi dilakukan untuk mempermudah pengontrolan negara jajahan dan masyarakatnya.Pada rezim Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi saat ini, orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai-nilai dan simbol-simbol masih amat kuat menunjukkan, bagaimana birokrasi dan para pejabatnya mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai abdi dan pelayan masyarakat.Contohnya, istilah penguasa tunggal untuk bupati dan gubernur pada zaman Orde Baru menunjukkan, bagaimana birokrasi dan para pejabatnya pada waktu itu memerankan dirinya. Kendati istilah itu tidak lagi sering digunakan di era reformasi ini, sikap dan perilaku para pejabat birokrasi menempatkan dirinya sebagai penguasa belum banyak berubah.Semua itu terjadi, menurut Prof Dr H Suwarma Al Muchtar, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, karena ada nilai-nilai kultural yang belum ditransformasikan. Kedudukan pegawai negeri lebih identik dengan budaya dilayani, bukan melayani. Meskipun unsur ini kecenderungan makin menurun, tetapi belum sepenuhnya bisa ditransformasikan menjadi budaya melayani"Secara kultural kita pernah menempatkan pegawai negeri sebagai bagian dari sistem politik yang untuk memenangkan partai tertentu dan bagian dari partai tertentu. Walaupun masih tersembunyi, tetapi toh akhirnya dari situlah kultur terbentuk. Pendekatan politik yang terlalu kuat mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal. Ini kesalahan kita, mengidentikkan pegawai negeri sebagai pegawai pemerintah, maka dia harus tunduk patuh kepada pemerintah," jelasnya.Padahal, antara pemerintah dan negara itu berbeda. Negara itu sifatnya abadi, sedangkan pemerintah itu terkena hukum rotasi. "Pada saat menjadi instrumen pemerintah, mestinya menjadi instrumen negara. Tetapi, pada waktu itu sulit membedakan mana pemerintah dan mana negara karena memang sistem kepartaian dan budaya kita yang belum clear," paparnya.Memasuki era reformasi, kultur minta dilayani itu tidak serta-merta terputus habis, sebab mengubah budaya itu memerlukan waktu yang lama. Mental-mental yang mestinya abdi negara masih terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, pemerintah masih penuh dengan pendekatan kekuasaan, padahal mestinya pegawai yang bagus itu penuh dengan profesionalisme. "Kata-kata pelayan memang tidak populer, tetapi begitulah seharusnya, menjadi abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah," tegasnya.FEISAL Tamin menyadari, untuk meningkatkan pelayanan birokrasi perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan dalam manajemen kepegawaian. Karena itu sejak 1 Juli 2003 dilakukan pendataan ulang pegawai negeri sipil (PUPNS). "Melalui PUPNS yang merupakan tahap awal secara mendasar membangun sistem informasi kepegawaian, kita ingin mendapat data PNS yang akurat, terpercaya, aktual, dan terintegrasi, baik di tingkat organisasi, wilayah, maupun nasional," ujar Feisal Tamin.Suwarma berpendapat, pendekatan pendidikan juga perlu dilakukan. Artinya, pegawai yang sudah ada sekarang ini terus dibina dan diberi pelatihan, serta dibangun sistem yang bagus, kesejahteraannya pun dibangun secara total, dibuat kompetisi yang bagus, dan nilai-nilai lama dikikis. Kualitas manusia bisa diubah melalui pendidikan. Namun, yang kerap dilakukan adalah pendidikan dalam arti yang formal, sekolah. Pendidikan dalam arti luas, yang dalam manajemen dikenal dengan learning organizational kurang disentuh.Bagaimana menciptakan sebuah unit kerja itu menjadi unit pembelajaran, itu yang kurang. Selalu seorang pegawai negeri menjadi orang yang ditugaskan begitu saja, tidak disuruh berpikir. Seharusnya semua orang diajak berpikir memecahkan masalah. Learning organization ini harus muncul sebagai sebuah kekuatan untuk membangun organisasi. Seiring dengan itu juga perlu ada upaya memperlemah pendekatan kekuasaan, tetapi menumbuhkan demokratisasi.Dengan pendekatan pendidikan, setiap lini bisa membangun sebuah praktik layanan pendidikan. Hal itu dilakukan dalam rangka memunculkan kualitas SDM untuk menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat.Birokrasi sebagai bagian dari sistem sosial, keniscayaannya harus ada dan tidak bisa dihilangkan. Pejabat perlu ada untuk melayani masyarakat. Masalahnya, bagaimana birokrasi itu benar-benar berfungsi melayani masyarakat. Kalau rakyat mendapat pelayanan yang tidak baik, rakyat juga jangan larut mengembangkan ketidakbaikan itu. Rakyat harus kritis.Untuk menolak kebatilan ,Wassalam

No comments: