30 April 2009

MEGAWATi


Asww.
Mega-Prabowo- Wiranto: Imajinasi Pendek PDI-PBagikan
mungkin bisa jadi renungan...tulisan ini dari teman saya..

Mega-Prabowo- Wiranto: Imajinasi Pendek PDI-P
Monday, 27 April 2009 11:04

Oleh Philips Vermonte, peneliti CSIS, pendiri Jakartabeat. net

Hampir pasti PDI-P memutuskan untuk mencalonkan pasangan Megawati - Prabowo sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, Wiranto dan Prabowo menjadi tamu istimewa rapat besar PDI-P. Keduanya disambut riuh rendah di sana. Apa yang bisa kita katakan? Ini beberapa hal yang dapat saya katakan:

Pertama, imajinasi PDI-P teramat pendeknya. Memperhatikan peristiwa politik beberapa hari belakangan, imajinasi PDI-P yang pendek sangat kentara. Megawati makan siang bersama pensiunan jenderal TNI, mereka-mereka yang menopang akhir masa Orde Baru yang mulai terhuyung-huyung. Amat kontras dengan citra Megawati di awal reformasi, ketika orang banyak melihatnya sebagai figur segar 'masa depan', mengganti tahun-tahun Orde Baru yang kelam dan menyesakkan.

Membaca berita 'sowan' para pensiunan jenderal itu ke Teuku Umar, seketika saya teringat masa kampanye pemilihan presiden di Amerika di tahun 2008 yang baru lalu. Di masa pemilihan awal Partai Demokrat, Hillary Clinton mengerahkan tokoh-tokoh lama Partai Demokrat untuk berdiri dibelakangnya, menjadi background dalam pidato-pidatonya saat kampanye. Kamera menangkap gambar mantan presiden Bill Clinton, mantan Menlu Madelaine Albright dan lain-lain. Kontras dengan Obama, dibelakang podiumnya berdiri anak-anak muda berwajah segar, menyiratkan optimisme melihat masa depan. Pemilu 2009 bukanlah untuk masa lalu. Pemilu ini penting untuk kelangsungan PDI-P sendiri, tahun 2014 ketika regenerasi kepemimpinan konkrit di negeri kita terjadi. Sungguh sayang PDI-P di momen krusial ini memilih bergabung dengan simbol-simbol masa lalu, bukan menanam benih menyiapkan kader-kader muda PDI-P.

Kedua, lima tahun berada di pinggir kekuasaan, tentu membuat PDI-P kewalahan. Secara finansial pastinya. Bahwa korupsi terjadi di berbagai departemen dan BUMN, menjadi sumber uang bagi partai berkuasa, sudah kita mahfumi sejak lama. Berada di pinggir selama lima tahun tanpa sumber-sumber finansial melimpah, Prabowo tentu dilihat sebagai pembawa sumber finansial baru bagi kampanye PDI-P. Bila itu alasan utama mengambilnya sebagai pasangan calon wakil presiden, lagi-lagi kita lihat miskinnya imajinasi PDI-P.

Kampanye memang mahal. Apalagi belakangan muncul paduan suara para pengamat bahwa melonjaknya suara Partai Demokrat adalah karena moda kampanye iklan di televisi. Iklan televisi dalam konteks pemilihan langsung memang penting, tetapi bukan satu-satunya yang penting. Ada banyak studi mengenai pemilu yang menunjukan bahwa kampanye door-to-door, ground troop, political canvassing dari rumah ke rumah, menginduksi informasi ke kampung-kampung (neighborhood) bisa efektif 'melawan' kampanye televisi dari kompetitor bermodal besar. Yang dibutuhkan adalah volunteer.

Modal sosial PDI-P untuk menggalang volunteer sangat besar karena karakter pemilih wong ciliknya. Obrolan politik yang efektif bisa mempengaruhi pilihan politik terjadi di pos-pos ronda, pasar-pasar, pangkalan ojek dan tempat-tempat lain yang dulunya adalah basis dukungan Megawati. Sayang, Megawati dan PDI-P telah menjadi partai priyayi yang meninggalkan basis pemilihnya. Karena itu, PDI-P gagal mengkapitalisasi basis pendukungnya untuk meredam moda iklan televisi. Imajinasi menjadi pendek, mata menjadi rabun jauh, hanya bisa melihat Prabowo sebagai pembawa dana segar untuk kampanye iklan riuh rendah di televisi, kampanye yang sesungguhnya tidak memberi pendidikan politik apa-apa bagi para pemilih.

Ketiga, pertimbangan bahwa Prabowo Subianto adalah 'strong man' yang dibutuhkan untuk mendampingi Megawati sungguh menakutkan. Benar, Prabowo adalah orang kuat. Ia kuat melawan hati nuraninya sendiri, melakukan penculikan atas mereka yang berseberangan paham politiknya dengan Suharto, mertuanya. Ya, Prabowo adalah orang yang kuat melakukan apapun untuk kekuasaan.

Keempat, saya semakin meragukan retorika nasionalisme PDI-P. Kontributor Jakartabeat. net Dandhy Dwi Laksono menulis dengan baik sekali catatannya atas retorika nasionalisme PDI-P di halaman website ini beberapa waktu lalu. Indosat dan sumber gas Tangguh dijual pada saat pemerintahan Megawati. Kini PDI-P, dan Prabowo, mengangkat soal-soal privatisasi dan menghantamkanya pada pemerintahan SBY yang disebutnya neo-liberal (tulisan ini bukan untuk menyampaikan dukungan pada SBY, bagi saya ia juga bukan calon ideal).

Nasionalisme mengandaikan tiap orang mengkesampingkan persoalan pribadinya untuk cause negara yang lebih besar. Semua orang tahu bahwa Megawati tidak pernah mau hadir upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus di Istana sejak SBY berkuasa. Sakit hatinya mengalahkan rasa nasionalisme- nya. Dalam retorika nasionalisme ala kita di Indonesia, upacara peringatan kemerdekaan adalah puncak dari segala simbol nasionalisme bukan? Tapi, bagi Megawati, itu tidak cukup untuk mengalahkan ego pribadinya. Ia lupa, di masa darurat militer di Aceh yang diotorisasinya dulu, warga Aceh bisa terancam keselamatannya apabila menolak hadir apel menghormati bendera merah putih di sana.

Kelima, 27 Juli, Mei 1998, dan Semanggi 1999 dan tangan-tangan tentara yang kentara kelihatan. Kini, Megawati bergabung dengan penindasnya dulu. Rekonsiliasi bukan persoalan milik elit politik partai. Korban tragedi 27 Juli, Mei 1998, dan Semanggi 1999 yang sesungguhnya adalah rakyat biasa. Saya kenal secara pribadi dengan seorang ayah dari mahasiswa Universitas Atmajaya yang tertembak mati di Semanggi. Hari itu, betul-betul tanpa sengaja saya berada di kampus itu sebagai orang biasa dan melihat jenazah anaknya yang tertembak mati terbujur kaku di depan saya. Dan bukan, saya bukan aktifis. Hari itu, saya kesulitan mencari kendaraan pulang ke rumah seusai kursus, memutuskan untuk 'menonton' mahasiswa berdemonstrasi. Saya masih ingat rasanya ketika detik itu perut terasa mual dan hati sangat marah mendengar tembakan sniper sialan dan menyaksikan mahasiswa tewas bergelimpang seketika.

Hingga hari ini, sang ayah terus mencari keadilan atas hilangnya nyawa putra kesayangannya di hari nahas itu. Hingga hari ini, setiap Senin, ia tak pernah lupa mengunjungi makam anaknya dan bersumpah di sana untuk terus mengejar keadilan, membawa mereka yang bertanggung jawab atas kematian anaknya dan beberapa mahasiswa lain di Semanggi, ke pengadilan. Tapi mungkin suara korban semacam kenalan saya itu tidak pernah lagi sampai ke Teuku Umar.

Akhirnya, ini pesan kepada Megawati, Prabowo dan Wiranto: banyak orang tidak pernah melupakan tragedi 27 Juli 1996, Jakarta Mei 1998 dan Semanggi 1999. Tidak akan pernah.

No comments: